Friday, December 2, 2011

Pemberantasan Korupsi (Belajar Dari Kasus Jaksa UTG)

Jagat hukum dan politik Indonesia terguncang hebat ketika Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menangkap basah Jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) sesaat setelah menerima uang sekitar Rp 6,1 miliar dari seorang perempuan yang bekerja untuk taipan Syamsul Nursalim. Syamsul adalah pemilik BDNI, bank yang dinyatakan bebas dari jeratan hukum dalam kasus ngemplang duit negara yang dikucurkan dalam program Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI).


Tahun 2006, seorang mantan Hakim Agung, yang beralih profesi sebagai pengacara, ditangkap karena menerima suap dari perkara di tingkat kasasi yang diduga juga melibatkan Hakim Agung yang masih aktif saat itu. Awal tahun 2007, seorang polisi berpangkat jenderal juga dijeblos ke dalam tahanan setelah dinyatakan korupsi dalam kasus Andrian Woworunto. Akhir tahun 2007 lalu, publik terhenyak ketika KPK menangkap Irawadi Yoenus, salah seorang komisioner Komisi Yudisial, komisi yang bertugas mengawasi perilaku hakim. Dia dicokok karena melakukan korupsi dalam kasus pengadaan tanah untuk kantor Komisi Yudisial yang baru. Hakim memutuskan Irawadi bersalah, dan dikenakan hukum delapan tahun penjara.

Januari lalu, KPK resmi menahan mantan Kapolri Rusdihardjo, karena diduga melakukan korupsi saat menjabat sebagai Dubes RI untuk Malaysia di Kuala Lumpur. Menurut temuan sementara, saat menjabat sebagai dubes dia telah melipatgandakan setoran uang dari WNI yang mengurus dokumen-dokumen keimigrasian untuk keuntungan pribadi. Rusdihardjo sudah dijeblos ke dalam tahanan dalam rangka penyidikan.

Penahanan dan peradilan terhadap orang-orang penting tersebut, satu sisi merupakan pertanda bahwa penegakan hukum di Indonesia menjadi lebih baik. Namun sisi lain, terlibatnya mereka dalam kasus-kasus korupsi membuktikan bahwa ada masalah besar menyangkut moralitas aparat penegak hukum di negeri ini. Mereka adalah orang-orang penting dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Jaksa Urip adalah simbol semangat Jaksa Agung (kabinet SBY) dalam mengurus perkara BLBI, untuk membedakan dengan presiden-presiden sebelumnya. Irawadi adalah buah dari amandemen UUD 1945 yang melahirkan Komisi Yudisial, mengawasi hakim-hakim nakal. Mahkamah Agung sendiri adalah pintu terakhir tempat orang mencari keadilan. Dan Rusdihardjo tak kurang daripada orang nomor satu di kepolisian, orang pertama yang bertanggungjawab dalam menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat, termasuk menyidik kasus korupsi.

Kerangka normatif

Sungguh disayangkan, ternyata mereka tak mampu menunjukkan keteladanan kepada publik di negeri ini. Banyak orang terhenyak, dan terlukai perasaan keadilannya. Benarkah simpulan bahwa Indonesia tidak memiliki apa pun lagi, dan harus menyerah dalam memberantas korupsi? Itu tidak seluruhnya benar. Dari segi perangkat hukum misalnya, pemerintah telah melakukan sejumlah hal seperti mengesahkan UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Badan ekstra juga dibentuk, semacam Komkamtib-nya Laksamana Sudomo untuk memberantas pungli. Lantas, UU tadi diganti pula dengan UU No. 31/1999, dan diubah lagi melalui UU No. 20/2001, sebagai pertanda bahwa pemerintah tidak ingin kalah dalam melawan korupsi dengan modus yang lebih rumit. Ancaman hukuman dalam UU itu adalah seumur hidup, pidana penjara paling lama 20 tahun, ancaman terberat kedua setelah hukuman mati.

Pemerintah juga membentuk Timtas Tipikor (tetapi kemudian usia karena putusan Mahkamah Konstitusi pada 2007 lalu) dan kemudian mendirikan KPK melalui UU No. 30/2002, dengan kewenangan hukum yang sangat luas semisal menangkap dan menahan pejabat atau menteri tanpa perlu izin Presiden. Kehadiran Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa dilihat pula sebagai satu langkah penting dalam memberangus praktik korupsi. Keppres itu dibuat sedemikian ketat, sehingga dianggap menghilangkan peluang untuk merugikan negara dalam proses tender dan penunjukan langsung. Akuntabilitas eksternal juga ditunjukkan Indonesia, misalnya dengan meratifikasi konvensi internasional tentang antikorupsi dua tahun lalu. Dengan cara ini, Indonesia ingin menegaskan sikap politik dalam perang melawan korupsi, dan menyatakan siap bekerjasama dengan pihak internasional atau interpol, termasuk PBB, untuk memerangi korupsi di negeri yang subur dan kaya dengan sumberdaya alam ini.

Norma memang belum sepenuhnya sempurna, bahkan ada sejumlah tabrakan antara satu norma hukum dengan norma hukum lainnya. Namun dengan berangkat dari kasus-kasus besar di atas, yang melibatkan aparat penegak hukum, seharusnya menegakkan hukum, persoalan utama yang kemudian teridentifikasi adalah pada level law enforcement (penegakan hukum), kesenjangan antara law in the book (hukum dalam UU) dengan law in action (hukum dalam kenyataan). Norma-norma hukum tak sanggup ditegakkan dengan baik.

Dalam pemberantasan korupsi, masih terdapat diskriminatif atau tebang pilih. Terhadap beberapa kasus, pengembalian uangnya diutamakan dan pelakunya diberi maaf, apalagi yang punya koneksi politik, namun dalam kasus lain, pelaku-pelakunya ditahan, meskipun pengembalian uang negara nihil; semuanya dengan alasan subyektif. Kasus BLBI merupakan contoh buruk, sebab sekitar Rp 450 trilyun uang rakyat habis digelontorkan para taipan, tetapi saat mereka mengembalikan melalui ases-aset yang berharga hanya setengah dari utang yang mereka dapat, mereka tidak segera ditindak oleh aparat penegak hukum.

Integritas dan konsistensi

Transparansi Internasional menyebut bahwa institusi penegak hukum di Indonesia adalah institusi paling korup. Untuk jadi polisi, jaksa dan hakim, konon cukup dengan menyetor sekian puluh juta atau bahkan seratus juta lebih. Karena mereka sudah menghabiskan rupiah sedemikian banyak, maka ketika aparat ini punya kesempatan, maka mereka melakukan korupsi untuk menggantikan uang sogok yang sudah dihabiskan dalam tes masuk. Pemisalan yang tepat untuk hal ini adalah menyerahkan tikus untuk dipelihara oleh seekor kucing. Dalam keadaan normal, kucing itu pasti menerkam habis sang tikus, meskipun tikus itu hanya titipan semata.

Ada sikap gamang pemerintah terhadap pengutang kakap. Berbeda jika berhadapan dengan pedagang kakilima yang berjualan tanpa izin; pedagang dan gerobaknya sekalian diangkat ke kantor walikota atau kantor Satpol PP. Terhadap taipan itu, Abdurrahman Wahid dan Megawati juga tidak berkutik, meskipun sekarang mereka kerap mengeritik SBY. Ada ketakutan, sebab jangan-jangan jika orang kaya itu diproses nanti para pejabat tinggi atau anggota legislatif turut terseret, misalnya karena menerima upeti dari para taipan kaya itu. Pilihan yang diambil, didiamkan, atau jika pun diproses, cukup di pinggir saja.

Kadangkala, hal aneh jika terasa saat yang terlibat korupsi adalah aparat penegak hukum. Kualifikasi mereka kemudian sering sebatas melanggar administrasi atau disiplin pegawai negeri. Karena sikap tebang pilih itu, maka meskipun telah ada beberapa kemajuan dalam reformasi hukum, tetap masih ada orang yang berani untuk melakukan korupsi. Mereka masih percaya, bahwa (aparat penegak) hukum di negeri ini dapat dibeli. Kalau yang ingin diselidik adalah anggota dewan, maka anggota dewan menuduh aparat hukum punya kepentingan politik, dan karena itu penyelidikan dihentikan.

Dalam konteks itu, korupsi di jajaran institusi penegak hukum dapat dicegah. Antara lain; lakukan rekrutmen yang bersih, mungkin dengan metode fit and proper test, serta melibatkan misalnya komisi kepolisian, komisi kejaksaan, yang telah diperintahkan oleh UU untuk dibentuk. Anggota komisi-komisi tersebut terdiri dari berbagai komponen masyarakat, sehingga bisa mengontrol akuntabilitas rekrutmen.

Memulai dari diri sendiri, strategi lain memberantas korupsi yang paling tradisional. Namun kiat ini sering dilupakan, akibatnya polisi atau jaksa yang seharusnya menangani kasus korupsi malah kemudian korupsi. Mereka ingin orang lain tidak korup, tetapi lupa mengajak diri untuk tidak korup. Ada hakim mengadili koruptor, tetapi di belakang meja dia (hakim itu) cari duit dengan cara kotor. Ada pejabat atau penegak hukum yang terlalu bersemangat memberantas KKN, namun lupa mengajak keluarga sendiri (istri/suami dan anak-anak) atau para sahabatnya untuk tidak korup atau menolak uang haram. Telunjuk lurus kelingking berkait, selalu menunjuk orang lain, namun lupa diri sendiri. Cara-cara ini sebenarnya refleksi sikap antipemberantasan korupsi.

Memaknai Era Baru

UU hanya hanya benda mati, manusialah yang dapat menghidupkannya. Hukum yang buruk, membuat situasi bisa baik jika manusianya juga baik. Tetapi jika moralitas manusianya bobrok, maka hukum yang baik tak ada gunanya sama sekali. Karena itu mari belajar dari kasus Jaksa UTG. Sebagian besar rakyat masih hidup menderita. Harga minyak dan berbagai kebutuhan pokok terus melambung, lapangan kerja terbatas, sektor pendidikan dan kesehatan belum sepenuhnya mampu dibantu oleh pemerintah. Ini antara lain disebabkan budaya korup di Indonesia yang dimulai sejak era Soeharto. Dalam konteks ini, institusi penegak hukum semestinya berada di garis depan untuk menghentikan penderitaan rakyat itu, bukan sebaliknya menunjukkan perilaku korup.

Kita percaya, di antara sekian perilaku buruk aparat, masih ada polisi, jaksa, dan hakim yang berintegritas baik. Kepada Anda semua yang masih punya integritas, rakyat berharap banyak. Tetapi ingat juga pepatah, gara-gara nila setitik, rusak susuk sebelanga. Karena itu dalam memberantas korupsi, nila setitik pun sebaiknya jangan jatuh ke dalam belanga.


*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unsyiah

http://www.opensubscriber.com/message/kkn-watch@yahoogroups.com/8910889.html

No comments:

Post a Comment

 
;