Pengertian
atau definisi jurnalistik sangat banyak. Secara etimologi, jurnalistik
berasal dari dua suku kata, yakni jurnal dan istik.
Jurnal berasal dari bahasa Perancis, jounal, yang berarti catatan
harian. Dalam bahasa Latin, juga ada kata yang hampir sama bunyi dan
upacannya dengan journal yakni diurna, yang mengandung arti hari ini.
Pada zaman Kerajaan Romawi Kuno saat Julius Caesar berkuasa, dikenal
istilah acta diurna yang mengandung makna rangkaian akta (gerakan,
kegiatan, dan kejadian).
Kata istik merujuk pada istilah estetika yang berarti ilmu pengetahuan
tentang keindahan. Keindahan dimaksud adalah mewujudkan berbagai produk
seni dan atau keterampilan dengan menggunakan bahan-bahan yang
diperlukan, seperti kayu, batu, kertas, cat, atau suara. Dalam hal ini
meliputi semua macam bangunan, kesusastraan, dan musik.
Hasil seni dan atau keterampilan dimaksud mengandung nilai-nilai yang
bisa diminati dan dinikmati manusia pengagumnya, karena keindahan
tersebut mengandung makna yang luas, serta mencakup sifat-sifatnya yang
obyektif dan subyektif.
Dengan demikian, secara etimologis, jurnalistik dapat diartikan sebagai
suatu karya seni dalam hal membuat catatan tentang peristiwa
sehari-hari. Karya seni dimaksud memiliki nilai keindahan yang dapat
menarik perhatian khalayaknya (pembaca, pendengar, pemirsa), sehingga
dapat dinikmati dan dimanfaatkan untuk keperluan hidupnya.
Di dalam istilah jurnalistik juga terkandung makna sebagai suatu seni
dan atau keterampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan
informasi dalam bentuk berita secara indah agar dapat diminati dan
dinikmati, sehingga bermanfaat bagi segala kebutuhan pergaulan hidup
khalayak.
Secara lebih luas, pengertian atau definisi jurnalistik adalah seni dan
keterampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan
berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam
rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya, sehingga
terjadi perubahan sikap, sifat, pendapat, dan perilaku khalayak sesuaia
dengan kehendak para jurnalisnya. (Kustadi Suhandang, 2004 : 21)
Masih banyak definisi atau pengertian jurnalistik, antara lain kejadian
pencatatan dan atau pelaporan, serta penyebaran tentang kejadian
sehari-hari (Astrid S. Susanto, 1986, Komunikasi Massa, Hal. 73).
Onong Uchjana Effendy (1981: 102) menyatakan bahwa jurnalistik merupakan
kegiatan pengolahan laporan harian yang menarik minat khalayak, mulai
dari peliputan sampai penyebarluasannya kepada masyarakat.
A.W. Widjaja (1986: 27) menyebutkan bahwa jurnalistik merupakan suatu
kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun
ulasannya mengenai berbagai peristiwa atau kejadian sehari-hari yang
aktual dan faktual dalam waktu secepat-cepatnya.
Ensiklopedi Indonesia secara rinci menerangkan bahwa jurnalistik adalah
bidangprofesi yang mengusahakan penyajian informasi tengang kejadian dan
atau kehidupan sehari-hari secara berkala, dengan menggunakan
sarana-sarana penerbitan yang ada.
Secara harfiah, jurnalistik artinya kewartawanan atau hal-ikhwal
pemberitaan. Menurut kamus, jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk
menyiapkan, mengedit, dan menulis di surat kabar, majalah, dan media
massa lainnya.
SEJARAH JURNALISTIK
Ada yang berpendapat bahwa Nabi Nuh, adalah orang pertama yang melakukan pencarian dan penyampaian berita.
Dikisahkan bahwa pada waktu itu sebelum Allah SWT menurunkan banjir
besar, maka diutuslah malaikat menemui dan mengajarkan cara membuat
kapal laut sampai selesai kepada Nabi Nuh.
Kapal tersebut dibuat di atas bukit dan bertujuan mengevakuasi Nabi Nuh
bersama sanak keluarganya dan seluruh pengikutnya yang saleh dan segala
macam hewan masing-masing satu pasang.
Setelah semua itu dilakukan, maka turunlah hujan selama berhari-hari
yang disertai angin kencang dan kemudian terjadilah banjir besar. Dunia
pun dengan cepat menjadi lautan yang sangat besar dan luas.
Nabi Nuh bersama orang-orang yang beriman lainnya dan hewan-hewan di
dalam kapal laut, berlayar dengan selamat di atas gelombang lautan
banjir yang sangat dahsyat.
Setelah berbulan-bulan lamanya, Nabi Nuh beserta orang-orang beriman
lainnya mulai khawatir dan gelisah, karena persediaan makanan mulai
berkurang.
Masing-masing penumpang pun mulai bertanya-tanya, apakah banjir besar
itu memang tidak berubah atau bagaimana? Mereka pun berupaya mencari dan
meminta kepastian.
Atas permintaan dan desakan tersebut, Nabi Nuh mengutus seekor burung
dara ke luar kapal untuk meneliti keadaan air dan kemungkinan adanya
makanan.
Setelah beberapa lama burung itu terbang mengamati keadaan air, dan kian
kemari mencari makanan, ternyata upayanya sia-sia belaka. Burung dara
itu hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun (olijf) yang tampak
muncul ke permukaan air. Ranting itu pun di patuknya dan dibawanya
pulang ke kapal.
Atas datangnya kembali burung itu dengan membawa ranting zaitun, Nabi
Nuh mengambil kesimpulan bahwa air bah sudah mulai surut, namun seluruh
permukaan bumi masih tertutup air, sehingga burung dara itu pun tidak
menemukan tempat untuk istirahat.
Maka kabar dan berita itu pun disampaikan Nabi Nuh kepada seluruh anggota penumpangnya.
Atas dasar fakta tersebut, para ahli sejarah menamakan Nabi Nuh sebagai
seorang pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) yang pertama kali di
dunia.
Malah ada yang menyimpulkan bahwa Kantor Berita pertama di dunia adalah Kapal Nabi Nuh.
Dalam sejarah Kerajaan Romawi disebutkan bahwa Raja Imam Agung menyuruh
orang membuat catatan tentang segala kejadian penting. Catatan itu
dibuat pada annals (papan tulis yang digantungkan di serambi rumah
raja). Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap
orang yang lewat dan memerlukannya.
Pengumuman sejenis itu dilanjutkan oleh Julius Caesar pada zaman kejayaannya.
Julius Caesar mengumumkan hasil persidangan senat, berita tentang
kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu
disampaikan dan diketahui rakyatnya, dengan jalan menuliskannya pada
papan pengumuman berupa papan tulis pada masa itu (60 SM).
Papan tulis itu dikenal dengan nama acta diurna dan diletakkan di Forum
Romanum (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum. Terhadap isi acta
diurna tersebut setiap orang boleh membacanya, bahkan juga boleh
mengutipnya untuk kemudian disebarluaskan dan dikabarkan ke tempat lain.
Acta diurna itulah yang disebut-sebut sebagai cikal bakal lahirnya surat kabar harian.
Seiring kemajuan teknologi informasi, maka yang bermula dari laporan harian maka tercetaklah menjadi surat kabar harian.
Dari media cetak berkembang ke media elektronik, dari kemajuan elektronik terciptalah media informasi berupa radio.
Tidak cukup dengan radio yang hanya berupa suara muncul pula terobosan baru berupa media audio visual yaitu TV (televisi).
Media informasi tidak puas hanya dengan televisi, maka lahirlah internet, sebagai jaringan yang bebas dan tidak terbatas.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kini telah lahir
banyak media (multimedia). Seorang yang membuka internet, bisa sekaligus
mendengar berita radio, atau mendengarkan musik, atau menonton siaran
televisi.
SEJARAH JURNALISME INDONESIA
Pada awalnya, komunikasi antar manusia sangat bergantung pada komunikasi
dari mulut ke mulut. Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan
media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg.
Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda.
Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme
sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timur, Bintang Barat,
Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini
dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin
terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah
Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai media
komunikasi.
Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek
televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia (TVRI)
muncul dengan teknologi layar hitam putih.
Di masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan (pemberangusan) media massa.
Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh nyata dalam sensor kekuasaan ini.
Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan (Deppen) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan
Soeharto sebagai Presiden RI, pada 1998. Banyak media massa yang muncul
kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi
kewartawanan.
Kegiatan jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers.
Sumber : Pedoman Rakyat
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment